Rabu, 20 April 2011

Petualangan Sepulang Sekolah

Dr. Budi Brahmantyo (KK Geologi Terapan, FITB, ITB)


Ini adalah cerita masa kecil dalam rentang waktu 1969 – 1974. Masa-masa ketika saya bersekolah di SD Moch Toha VI di Jl. Moch Toha, Bandung. Tempat ini tidak jauh dari ITC Kebon Kalapa sekarang, yang dulunya adalah terminal. Sekolah itu menempati bangunan kuno. Mungkin peninggalan Belanda. Isu-isunya bekas rumah sakit. Memang di depan setiap kelas, terdapat selasar dan bak air, mirip sal-sal rumah sakit gaya Belanda dulu.
Rumah orangtua saya dulu di Jl. Pasundan. Rumah kecil berdinding papan. Ruang tamu hingga dapurnya masih berlantai tanah. Hanya ruang tidur yang berlantaikan papan. Kamar mandi dan WC-nya bersama-sama dengan tetangga lain. Airnya harus ditimba dari sebuah sumur yang airnya bening dan segar. Antara kamar mandi/WC dengan sumur berjarak kurang lebih 20 m. Rupanya penduduk blok Jl. Pasundan dulu, yang walaupun hidup sederhana, sudah menyadari sanitasi lingkungan dengan baik.
Sebenarnya ada SD yang lebih dekat dari rumah, yaitu SD Asmi di Jl. Asmi. Tetapi orang tua memasukkan saya (dan kemudian adik saya) ke SD Moch Toha karena kualitas pendidikannya katanya lebih baik. Bagi si Budi kecil waktu itu, sekolah di mana saja rasanya tidak masalah. Tetapi ketika semakin besar dan mulai menyadari keterkenalan SD Moch Toha di wilayah selatan Bandung, terselip rasa bangga juga bisa bersekolah di SD itu.
Berangkat ke sekolah tentu saja jalan kaki. Sering tidak mandi dulu, cukup cuci muka. Bandung saat itu masih terasa sangat dingin. Bahkan kabut pegunungan dari utara kadang-kadang masih menyelinap jauh ke selatan. Kadang-kadang seiring dengan langkah-langkah kaki kecil saya, kabut masih menyelimuti pagi. Perjalanan berangkat sekolah pun kadang-kadang harus memakai jaket. Rutenya menelusuri gang pintas yang kemudian tembus ke Jl. Asmi di samping lapangan Gereja Santo Paulus. Dari sana tinggal menyusuri Jl. Asmi dan tembus ke Jl. Moch Toha tepat di depan pasar. Berbelok ke kiri, dan tinggal beberapa puluh langkah lagi, sampailah di gerbang SD.
Di Jl. Moch Toha inilah yang saat itu tidak selebar sekarang, masih rapat dinaungi jajaran pohon tanjung. Ketika musim berbunga dan bunga-bunga tanjung berjatuhan ke atas jalan, menutupi jalan dengan warna keputih-putihan, harumnya sungguh semerbak. Hingga sekarang saat berada di bawah pohon tanjung dan bunga putih kekuning-kuningannya jatuh dan menyebarkan harum, ingatan saya langsung tertuju ke masa-masa berangkat sekolah itu.
Selain harumnya bunga tanjung, bagi saya kenangan akan Jl. Moch Toha justru didapat dari tukang beca yang kencing di selokan jalan. Rasa ingin tahu apa yang sedang dilakukan si tukang beca dengan berjongkok di pinggir selokan, akhirnya sempat ditiru juga. Tetapi lama-lama mengerti juga, bagi anak lelaki, kencing yang paling enak ya sambil berdiri.

Pindah Rumah
             Ketika sedang di kelas III, kehidupan harus berubah. Lahan tempat rumah orangtua ternyata bukan tanah sendiri, tetapi milik seseorang yang bernama Haji Omo. Si pemilik lahan bermaksud mengambil haknya kembali. Saya masih ingat bagaimana bapak saya dan beberapa tetangga sibuk mengurus masalah ini. Bahkan rasanya sempat masuk ke pengadilan segala. Tetapi karena memang bukti kepemilikan tanah lebih kuat dipunyai Haji Omo itu, akhirnya seluruh penghuni yang kira-kira terdiri dari puluhan kepala keluarga yang sudah mendiami tempat itu selama berpuluh-puluh tahun harus rela tergusur. Jika tidak salah, kasus penggusuran ini yang kemudian juga mengubah nama Jl. Abdul Muis (blok yang digusur berada pada pojok Jl. Pasundan – Jl. Abdul Muis), kembali ke namanya dulu, Jl. Pungkur.
            Sebagai seorang anak SD kelas III yang masih lugu, ya sedikit lucu dan guoblok, kehilangan rumah sebenarnya tidak begitu terasa. Hal yang terasa adalah kehilangan teman-teman bermain sepulang sekolah yang biasanya dipusatkan di lapangan yang dulu rasanya sangat lega, Buruan Dadang, yang berarti Halaman Dadang.  Entah siapa yang pertama memberi lapangan kecil ini sebagai Buruan Dadang. Mungkin mengacu pada satu rumah milik Dadang dengan halamannya itu.
            Maka, selamat tinggal kenangan penelusuran gang ke sekolah. Juga tidak akan ada lagi perburuan layangan putus (saya lebih asyik memburu layangan putus daripada memainkannya, rasanya ada rasa asyik berebutan dengan anak-anak lain), atau main gatriks (bisa sampai ke Alun-alun), sondah, loncat tali, dan slepdur (sebenarnya untuk anak perempuan, tapi ikut main juga), atau berburu selebaran iklan bioskop yang ditabur dari bemo yang berjalan, main petak-umpet di klinik Bidan Mimi, juga melempar mangga muda punya tetangga, dan lain-lain kenangan masa kecil...
            Ketergusuran rumah dari Jl. Pasundan mendapatkan pengganti rumah dinas PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) tempat ayah saya bekerja sebagai pegawai menengahan di Balai Besar Kereta Api beralamat Jl. Gereja (dulu), sekarang Jl. Perintis Kemerdekaan, dekat via-duct. Pindah dari rumah gubuk ke rumah gedong di Jl. Rajawali adalah kegembiraan tersendiri. Saat itu, rasanya sudah berubah jadi orang kaya. Tapi orang tua memutuskan tidak memindahkan sekolah dan meneruskan sekolah tetap di SD Moch Toha. Jaraknya ke sekolah dari rumah sekarang mencapai hampir delapan kilometer. Dimulailah petualangan si Budi kecil pergi dan pulang sekolah.
            Pergi ke sekolah dari rumah baru, tidak begitu ingat. Pastinya pertama-tama ibu saya yang mengantar. Tetapi justru perjalanan pulang ke rumah masih terrekam dengan baik di memori. Karena hidup keluarga pas-pasan, dengan lima adik yang masih kecil-kecil, pulang sekolah harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer itu. Perjalanan pulang inilah yang merrekam bagaimana kehidupan jalanan Bandung tahun 1971 – 1974.
            Rute pulang yang saya lalui, sambil membimbing adik saya yang dua tahun lebih muda, adalah ke arah terminal Kebon Kalapa, kemudian menyusuri Jl. Pasirkoja ke arah Jl. Astanaanyar. Nikreuh (berjalan kaki cukup jauh) ke utara sepanjang Jl. Astanaanyar, bisa belok menyusuri Jl. Cibadak, atau diteruskan hingga perempatan Jl. Gardujati – Jend. Sudirman, dan kemudian nikreuh menyusuri Jl. Jend. Sudirman ke arah barat, melalui Kelenteng Andir, Pasar Andir, Jamika, pertigaan Jl. Suryani, Gedung Perdatam (jadi PPTM, sekarang Puslitbang TekMira), lalu berbelok ke Jl. Garuda (pernah disebut Jl. Laksamana Muda Nurtanio; lalu sekarang kembali menjadi Jl. Garuda), hingga sampailah di rumah. Perjalanan jauh itu rasanya asyik saja, tidak terkesan ada rasa capek.
            Inilah rekaman beberapa peristiwa berkesan. Keinginan seorang anak kecil untuk dapat membeli koleksi stiker bendera negara-negara dunia tidak dapat dipenuhi orang tua. Ketika itu, barang itu tergolong mahal. Saya tidak habis akal. Dalam perjalanan pulang sekolah, selalu mampir ke satu etalase toko yang memajang kumpulan bendera negara dunia itu. Dengan kertas dan pensil saya menyalin satu-per-satu bendera-bendera itu. Di depan etalase itu saya cukup membuat kotak (kecuali bendera Nepal yang bentuknya aneh) dan mensketsa pola bendera, dan kemudian memberi keterangan warnanya. Di rumah, baru digambar ulang, dan diwarnai dengan pensil warna sesuai catatan warna di oret-oretan. Rupanya kebiasaan ini berguna juga ketika sekarang menjadi seorang geolog. Mengamati singkapan batuan, atau sayatan batuan di bawah mikroskop, atau bentang alam yang luas, mendeskripsinya dan membuat sketsanya, seolah-olah sebuah default masa kecil ketika menyalin bendera-bendera itu.
            Di Jl. Cibadak sempat tertarik pula pada judi bola. Si bandar memainkan bola kecil yang dipindah-pindahkan dengan tutupan kerucut dengan tangannya, dan si penjudi memasang taruhan bola ada di kerucut mana. Bersama-sama dengan orang lainnya yang rasa-rasanya para tukang beca atau pedagang asongan, saya si anak SD tertarik mencoba karena kelihatannya gampang. Benar saja, pilihan saya selalu benar. Taruhan awal Rp. 1,- (satu rupiah!) bisa berhasil membawa Rp. 10,-. Lama-lama ketika menyadari si bandar berwajah tidak senang, judi itu tidak pernah dicoba lagi.
            Di Jl. Astanaanyar, dekat Jl.Pagarsih, dulu ada gedung bioskop bernama Siliwangi. Saya selalu mengagumi para pelukis poster-poster bioskop yang besar-besar itu. Poster-poster film koboi adalah yang paling saya suka. Di satu pojokan dekat bioskop itu terdapat penjual koran dan majalah. Di sanalah saya selalu melihat-lihat majalah, kadang-kadang cukup dengan melihat-lihat sampulnya saja yang berwarna-warni. Di toko kecil inilah, saat pulang sekolah saya sudah tahu bagaimana sampul Majalah Bobo terbitan minggu itu, apakah Bobo si kelinci yang riang gembira itu sedang berkostum bajak laut, indian, tentara, polisi, pemadam kebakaran, atau lainnya. Jadi saat hari Rabu ketika majalah itu terbit dan dibawa pulang ayah dari kantor sekitar jam 14.30 saya sudah lebih dulu menikmati gambar sampulnya di perjalanan pulang sekolah.
            Perjalanan jalan kaki pulang sekolah akhirnya digantikan dengan naik oplet. Itupun setelah orangtua mulai memberi uang ongkos naik oplet. Oplet adalah mobil kuno yang spakbornya bulat menonjol. Mereknya ya Opel. Tetapi rasanya beberapa mobil bermerk Fiat atau mungkin Chevrolet. Lama-lama oplet digantikan oleh bus-bus mini dari Jepang yang dikenal sekarang sebagai “angkot.” Nah, karena dulu angkot-angkot ini umumnya menggunakan mobil merk Honda, masyarakat Bandung mengenalnya sebagai “honda,” sekalipun kemudian datang merk-merk lain seperti Suzuki.
Ongkosnya dari terminal Kebon Kalapa ke Jl. Garuda awalnya hanya Rp. 5,-. Tapi hingga kelas VI terasa ongkos itu beranjak naik hingga Rp. 15,- atau lebih. Bahkan pernah seorang kenek marah dan melemparkan uang Rp. 10,- yang saya berikan dengan terburu-buru karena saya langsung ngacir. Harga-harga mulai beranjak naik. Orangtua akhirnya menaikkan bekal jajan dan ongkos naik honda. Tetapi saya dan adik saya sudah menandai mana angkot dengan supir dan kenek yang baik, mana yang tidak. Tentu “honda galak” – begitu saya dan adik saya menjulukinya – tidak pernah jadi pilihan.
Petualangan sepulang sekolah sepanjang 8 km mulai digantikan duduk di atas “honda.” Supaya hemat, saya dan adik saya berpangkuan supaya dihitung satu. Lalu lintas saat itu boleh dikatakan masih lengang. Di jalanan yang berseliweran hanyalah beberapa mobil, beberapa bus antar kota, dan lebih banyak sepeda onthel, dan delman, selain mulai maraknya angkutan kota yang disebut “honda” itu. Kadang-kadang ada juga pedati kuda pengangkut barang (umumnya bambu) yang dikenal sebagai “Impala Udin.” Sebuah pelesetan nama merk mobil sedan Chevrolet mewah “Impala.” Di Bandung tahun 1970-an pernah terjadi kerusuhan berbau SARA ketika semua toko dan rumah milik keturunan Cina dihancurkan perusuh. Gara-garanya seorang pengemudi sedan mewah yang warga keturunan menghajar sais “Impala Udin” yang menggores mobil mewahnya.
Begitulah sekelumit petualangan sepulang sekolah masa SD yang menjadi memoar juga terhadap Kota Bandung sekitar pertengahan 1970-an. ***

Minggu, 17 April 2011

Peliharan Sapi dan Bebek

Dari: Mikrajuddin

Saya sering nonton TV acara Si Bolang bersama anak-anak.
Saya ceritakan pada mereka, seperti itulah masa kanak-kanak bapaknya dulu.
"Nakal", tetapi "nakalnya" anak-anak. Nakal yang penuh keceriaan.
Buabaran sekolah kadang langsung cebur ke sungai bersama teman-teman, atau ke gunung cari buah-buahan.
Kadang menyusuri sungai-sungai yang masih jernih airnya untuk mancing mujair, udang, kepiting, dan ikan sungai lainnya (tidak tau bahasa Indonesianya. Kalau bahasa Bima namanya: karisa, kamboo, duna, kaiha, sanggilo, hehehe...).

Pulang sekolah juga cari rumput untuk makanan sapi. Dulu waktu SMP memelihara sapi hingga bisa untuk biaya haji orang tua.
Menjelang sore memberi makan bebek. Biasanya campuran daun talas dan dedak padi yang dimasak. Adalah puluhan bebek yang dipelihara di kandang. Tiap pagi tinggal ambil telurnya untuk makan pagi sekeluarga. Satu orang satu butir telur. Saat dulu, telur termasuk makan mewah.

Menjelang panen, tidur di saung di sawah untuk menjaga padi.
Anak-anak saya merasa aneh, kok bapak kaya gitu masa kecilnya. Saya katakan pada mereka, itu semua adalah pengalaman yang sangat indah.

Tidak ada yang namanya bimbel, les, game, dan segala macam lainnya. Kalau ingin mainan, dibuat sendiri. Sekolah begitu menyenangkan, tanpa beban. Dan kadang tidak terpikir setelah besar mau jadi apa. Belum tau apa yang dinamakan cita-cita. Yang dilakukan adalah: pagi ke sekolah, siang pulang, sore kerja mengurus makanan sapi, bebek, dan kadang ambil kayu bakar di gunung dekat rumah.

Dan Alhamdulillah, sekarang "bisa jadi orang" juga.

Dan untuk anak-anak sekarang yang sibuk dengan bimbel, kursus, komputer, simpoa, dan lain-lain, mungkin setelah besar "tidak menjadi orang" tetapi menjadi "super orang" atau "superman" kali ya.

Jalan Kaki

Dari: Dr. Iftikar Z. Sutalaksana

Jalan kaki Pak..., baheula mah belum ada angkot. Kalau mau ke "kota" dengan angkutan umum, harus nyegat oplet di pertigaan Gerlong Hilir - Setiabudi yang datang dari Lembang menuju Stasion. Jadwalnya ? Kalau sekarang orang gerlong yang berdiri di sisi kiri Setiabudi (dari arah bawah) bisa di panggil-panggil kenek atau calo dari seberang jalan, "ngajak" untuk naik ke angkotnya. Ada beberapa angkot yang menunggunya. Dulu,  barangkali Lembang-Stasion itu sejam sekali, itupun tidak pasti.

Jadi jalan kaki Pak,melewati kebun dan sawah, dan melalui lorong-lorong antara rumpun bambu di kiri - kanan. Menyeberangi titian-titian bambu sungai-sungai Cijerokaso dan Citepus, dan kali-kali kecilnya. Juga melewati jalan-jalan setapak antar rumah-rumah bilik urang lembur di sana. Kalau melihat kandang domba (banyak domba adu) kami berhenti "menikmati" keindahan sang domba, tubuhnya yang gagah, tanduknya yang "baplang", kami lalu ramai saling mengomentari. Memang capek karena jauh dan kaki-kaki kami adalah kaki-kakinya anak kecil Sekolah Rakyat, tapi kan kalau ngabring dengan kawan-kawan mah jadi nggak kerasa. Resep we nu aya...., waktu itu. Sekarang, tinggal waas-nya.

Tidak Pernah Melewati Kelas Empat

Prof. Tunggal Mardiono

Temen2 yang bijak, saya sekolah mulai kelas tiga itu nggak bener, tidak pernah melewati kelas empat, lima dan enam tidka pernah penuh satu tahun sehubungan dengan harus mengungsi dari Bandung, Purwokertom, Kebumen, Yogya, Kebumen lagi kemali ke Yogya dan baru ke Bandung. Dari kwartal ke-4 kelas tiga, masuk kelas lima di Purwokerto dan hanya dua kwartal, kemudian kegunung utara Purbalingga dan nggak pernah sekolah, masuk kelas enam di Yogya hanya dua bulan dan di Kebumen hanya 4 bulan kembali ke Yogya hanya enam bula dan tidak sekolah, terus ke Bandung.

Di Bandung tepat masuk kwartal ke-3 dan cari sekolah dekat rumah tidak ada, jalan kaki tanpa sepatu sampai di SD Jl Kopo jam 12,00 masuk ke SD Kopo dan menyatakan ingin sekolah tidak diterima, sambil duduk di kaki lima terbaca ada SD Parki - sekolah partikulir - kirakira jam 12.30 saya masuk ke kantor SD Parki dan menyatakan ingin sekolah. Kemudian ditanya dengan siapa, yaaa dijawab sendirian, kemudian
kepala seloah bilang diterima tetapi besok harus dengan bapak saya. Besoknya saya diterima jadi murid kelas enam dan lima atau enam bulan kemudian Ujian Negara alhamdulillah lulus dan untuk masuk SD Negeri nilai saya hanya kurang satu, yaa masuk ke SMP Parki Di Jl Pasundan, dan saya pakai sepatu mulai kelas dua SMP dan spatunya diberi  ua saya (kaka bapak saya) yang di Bogor.

Masa Kecil di Gegerkalong

Dr. Iftikar Z. Sutalaksana

Banyak memang yang sudah hilang dari yang dulu pernah menghiasi, lalu mewarnai kehidupan kecil kita (warna itu membekas sampai dewasa, sepeti juga yang Pak Taufik rasakan). Masa kecil saya di Gegerkalong, Bandung. Kala itu di sana yang ada adalah kebun jagung, kebun-kebun bambu dan sawah. Sangat menyenangkan. Suara tongeret terdengar menjelang tibanya maghrib. Ngiangnya masih ada sampai sekarang. Pada musimnya, kami mencari jangkrik. Jika berhasil mendapatkan jangkrik kasir yang ukurannya lebih besar dari ibu jari orang dewasa itu, meski tak berbunyi nyaring seperti jangkrik kalung, dianggap sebagai sebuah prize yang membanggakan Kadang kala kami berburu impun di petak-petak sawah yang masih berair.

Senangnya..., kalau bisa mendapatkan impun jantan yang warnanya berpolet biru mengkilat. Tidak jarang kami "mengembara" untuk mencari impun, ke selatan bisa sejauh perbatasan dengan kolam renang Karang Setra (biasanya dilanjutkan dengan berenang di sana, free, setelah melewati lubang pagar kawat yang sekarang semestinya sudah tak berlubang lagi, he he), ke utara sampai sejauh Cihideung, ke barat "merambah" daerah Jerokaso dan ke timur lewat Panorama sampai ke perbatasan Secapa (dulu namanya Akmiljurtek, entah  singkatan dari apa)..... Semua berlangsung penuh fun, enjoyments.. (tidak ada les di luar jam sekolah apalagi bimbingan belajar supaya bisa lulus ujian SD dan masuk SMP favorit, hiks hiks ).


Sekarang kalau saya lewat daerah itu......, sulit membayangkan anak-anak  di sana bisa mendengar suara tongeret lagi, menemukan jangkrik apalagi yang kasir, dan "nyair" impun. Sudah tentu the joy and the whole fun seperti diceritakan di atas tidak akan mereka dapatkan. Apalagi memori dan segala efek2nya. Mereka sibuk les, bimbingan belajar, computering, games.... yang masih harus kita lihat memory dan efek apa yang akan bersisa di kala mereka dewasa nanti.

Saya penasaran apa kiranya yang mereka akan ceritakan 20-30 tahun lagi di email, atau apapaun media yang  tersedia saat itu nanti, tentang masa kecil mereka, dalam sebuah kenangan seperti yang Pak Taufik tulis). Kalau ada yang menjadi dosen ITB, kita  tunggu di"milis" dosen ITB jaman itu . Sekarang saya tinggal di Pasir Impun (impun !), sejak 25 tahun yang  lalu. Dulu masih dikelilingi sawah, kebun-kebun aneka palawija, dan rumpun-rumpun bambu di sana-sini. Ada juga peternakan sapi dan domba. Tongeret masih berbunyi nyaring, jangkrik masih banyak dan impun pun berenang-renang di mana ada sawah berair. Dulu. Sudah tentu jangkrik  tidak saya  buru lagi, begitu pula impun. Geus kolot .

Tapi sekarang, alamak....perumahan dan perumahan, ini hijau dan itu asri.... anu view dan apa indah... Pasir Impun kari pasirna. Impunna, duka teh teuing....Tapi Pak Taufik, halaman rumah saya dipertahankan apa adanya sejak awal. Semua pohon besar dipertahankan, malah di tambah. Hasilna : tongeret masih bersuara, semusim sekali burung-burung yang entah apa namanya mampir di halaman rumah berbunyi-bernyanyi merdu. Indah....menghibur, membuat dingin kepala dari panas yang dibawa dari kampus (he he). Sawah juga dibiarkan saja begitu, meh asa di lembur ! Efek nya terhadap ulat ? Mangga, nyanggakeun ka urang biologi.

Merindukan Burung Pelatuk

Oleh Dr. Taufikurahman

Sekitar tahun 70an, di pekarangan rumah orangtua saya yang terletak di daerah Bekasi kota, ada pohon petai yang cukup besar. Saat itu saya masih kecil, saya ingat sering memainkan bunga petai yang jatuh karena bentuknya besar seperti bandul.  Selain pohon petai yang terletak disebelah kanan pekarangan, ada juga pohon mangga golek di pekarangan depan, jambu air dan pohon mengkudu disebelah kiri  pekarangan. Di
 pekarangan belakang ada kebun singkong yang lumayan luas. Beberapa tanaman hias  juga ditanam orang tua saya di sebelah pekarangan depan, diantaranya ada palem kuning, alamanda dan bunga nusa indah.

Hampir setiap siang hari, dari pohon petai  itu terdengar suara "tuk-tuk-tuk-tuk-tuk",  itu tandanya ada burung pelatuk yang bulunya berwarna kecoklatan dengan garis-garis putih sedang mematuk-matuk batang pohon. Saat itu saya tidak tahu persis mengapa burung itu suka mematuk-matuk batang pohon petai, sayapun lupa apakah dulu pernah menanyakan hal tersebut pada orang tua saya. Setelah agak besar barulah saya tahu bahwa burung pelatuk itu memakan serangga terutama ulat yang ada di pohon petai tersebut.  Saya sangat takjub melihat burung yang cantik itu mematuk-matukkan paruhnya ke batang pohon petai .

Saat ini pohon petai itu sudah tidak ada di pekarangan rumah orang tua saya, begitu juga dengan pohon mengkudu dan palem kuning. Andaikan sekarang masih ada, pohon itupun mungkin sudah sangat tua usianya, mungkin masih akan bertahan hidup karena usia tumbuhan bisa sangat panjang, bisa lebih dari seratus tahun untuk beberapa jenis tumbuhan, seperti pohon  Squoia raksasa di Amerika sana yang usianya kalau tidak salah telah mencapai lebih dari 3 abad. Pekarangan rumah orang tua sayapun sudah tidak seluas dulu lagi. Rumah kamipun sudah berubah posisi dan bentuk, dan di pekarangan kecil yang tersisa saat ini bapak saya masih menanam pohon mangga, jambu air dan belimbing wuluh, sebagian barangkali karena itu tanaman-tanaman nostalgia beliau, dengan letak berdesak-desakan.

Dengan hilangnya pohon petai, maka hilang pulalah suara "tuk-tuk-tuk-tuk-tuk" itu. Saya tidak ingat kapan persisnya pohon petai di pekarangan rumah kami dulu ditebang, mungkin sekitar tahun 80an, saat itu saya sudah ke Bandung untuk kuliah.  Sayapun tidak ingat kapan terakhir saya melilhat burung pelatuk di pekarangan rumah kami dulu. Sering saya merindukan suara itu, saya merasa bahwa burung pelatuk , sebagaimana juga pohon petai, mengkudu, mangga golek, palem kuning, bunga alamanda dan nusa indah, merupakan bagian dari kenangan masa kecil saya yang indah.

Ketika saat ini dibeberapa daerah sedang dihebohkan dengan outbreak atau ledakan populasi beberapa jenis ulat bulu, saya kembali teringat burung pelatuk itu. Andai saja saat ini masih banyak burung pelatuk, sebagaimana juga burung-burung pemakan ulat lainnya di sekitar kita, pastilah ulat-ulat bulu itu tidak akan berkembang pesat populasinya.

Sayangnya burung pelatuk sudah pergi entah kemana, mungkin tak akan pernah kembali lagi, dan burung-burung lainpun semakin berkurang jenis dan jumlahnya yang bisa kita jumpai di lingkungan perkotaan kita.  Burung-burung yang seharusnya terbang bebas di udara dan mencari makan ulat-ulat atau buah dan biji-bijan di pohon-pohon kini sudah banyak dipelihara orang dalam sangkar, sehingga burung-burung itu tidak dapat lagi melakukan fungsi ekologisnya di alam, tidak lagi menjadi bagian dari penyeimbang ekosistem dalam rantai makanan di alam, salah satunya menjadi pengontrol populasi ulat bulu.

Sekarang saya hanya bisa bercerita kepada anak saya yang masih kecil tentang masa kecil bapaknya yang indah yang mengagumi burung pelatuk. Untungnya ada tokoh "woody woodpecker" di TV sehingga anak saya bisa membayangkan bagaimana rupa burung itu. Tetapi apakah kita harus membuat semua burung-burung dan binatang lainnya di kartunkan agar anak-anak kita mengenal binatang-binatang yang lucu, cantik dan bermanfaat itu, karena mereka sudah tidak bisa kita temukan lagi di lingkungan sekitar kita ?