Minggu, 17 April 2011

Masa Kecil di Gegerkalong

Dr. Iftikar Z. Sutalaksana

Banyak memang yang sudah hilang dari yang dulu pernah menghiasi, lalu mewarnai kehidupan kecil kita (warna itu membekas sampai dewasa, sepeti juga yang Pak Taufik rasakan). Masa kecil saya di Gegerkalong, Bandung. Kala itu di sana yang ada adalah kebun jagung, kebun-kebun bambu dan sawah. Sangat menyenangkan. Suara tongeret terdengar menjelang tibanya maghrib. Ngiangnya masih ada sampai sekarang. Pada musimnya, kami mencari jangkrik. Jika berhasil mendapatkan jangkrik kasir yang ukurannya lebih besar dari ibu jari orang dewasa itu, meski tak berbunyi nyaring seperti jangkrik kalung, dianggap sebagai sebuah prize yang membanggakan Kadang kala kami berburu impun di petak-petak sawah yang masih berair.

Senangnya..., kalau bisa mendapatkan impun jantan yang warnanya berpolet biru mengkilat. Tidak jarang kami "mengembara" untuk mencari impun, ke selatan bisa sejauh perbatasan dengan kolam renang Karang Setra (biasanya dilanjutkan dengan berenang di sana, free, setelah melewati lubang pagar kawat yang sekarang semestinya sudah tak berlubang lagi, he he), ke utara sampai sejauh Cihideung, ke barat "merambah" daerah Jerokaso dan ke timur lewat Panorama sampai ke perbatasan Secapa (dulu namanya Akmiljurtek, entah  singkatan dari apa)..... Semua berlangsung penuh fun, enjoyments.. (tidak ada les di luar jam sekolah apalagi bimbingan belajar supaya bisa lulus ujian SD dan masuk SMP favorit, hiks hiks ).


Sekarang kalau saya lewat daerah itu......, sulit membayangkan anak-anak  di sana bisa mendengar suara tongeret lagi, menemukan jangkrik apalagi yang kasir, dan "nyair" impun. Sudah tentu the joy and the whole fun seperti diceritakan di atas tidak akan mereka dapatkan. Apalagi memori dan segala efek2nya. Mereka sibuk les, bimbingan belajar, computering, games.... yang masih harus kita lihat memory dan efek apa yang akan bersisa di kala mereka dewasa nanti.

Saya penasaran apa kiranya yang mereka akan ceritakan 20-30 tahun lagi di email, atau apapaun media yang  tersedia saat itu nanti, tentang masa kecil mereka, dalam sebuah kenangan seperti yang Pak Taufik tulis). Kalau ada yang menjadi dosen ITB, kita  tunggu di"milis" dosen ITB jaman itu . Sekarang saya tinggal di Pasir Impun (impun !), sejak 25 tahun yang  lalu. Dulu masih dikelilingi sawah, kebun-kebun aneka palawija, dan rumpun-rumpun bambu di sana-sini. Ada juga peternakan sapi dan domba. Tongeret masih berbunyi nyaring, jangkrik masih banyak dan impun pun berenang-renang di mana ada sawah berair. Dulu. Sudah tentu jangkrik  tidak saya  buru lagi, begitu pula impun. Geus kolot .

Tapi sekarang, alamak....perumahan dan perumahan, ini hijau dan itu asri.... anu view dan apa indah... Pasir Impun kari pasirna. Impunna, duka teh teuing....Tapi Pak Taufik, halaman rumah saya dipertahankan apa adanya sejak awal. Semua pohon besar dipertahankan, malah di tambah. Hasilna : tongeret masih bersuara, semusim sekali burung-burung yang entah apa namanya mampir di halaman rumah berbunyi-bernyanyi merdu. Indah....menghibur, membuat dingin kepala dari panas yang dibawa dari kampus (he he). Sawah juga dibiarkan saja begitu, meh asa di lembur ! Efek nya terhadap ulat ? Mangga, nyanggakeun ka urang biologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar