Rabu, 20 April 2011

Petualangan Sepulang Sekolah

Dr. Budi Brahmantyo (KK Geologi Terapan, FITB, ITB)


Ini adalah cerita masa kecil dalam rentang waktu 1969 – 1974. Masa-masa ketika saya bersekolah di SD Moch Toha VI di Jl. Moch Toha, Bandung. Tempat ini tidak jauh dari ITC Kebon Kalapa sekarang, yang dulunya adalah terminal. Sekolah itu menempati bangunan kuno. Mungkin peninggalan Belanda. Isu-isunya bekas rumah sakit. Memang di depan setiap kelas, terdapat selasar dan bak air, mirip sal-sal rumah sakit gaya Belanda dulu.
Rumah orangtua saya dulu di Jl. Pasundan. Rumah kecil berdinding papan. Ruang tamu hingga dapurnya masih berlantai tanah. Hanya ruang tidur yang berlantaikan papan. Kamar mandi dan WC-nya bersama-sama dengan tetangga lain. Airnya harus ditimba dari sebuah sumur yang airnya bening dan segar. Antara kamar mandi/WC dengan sumur berjarak kurang lebih 20 m. Rupanya penduduk blok Jl. Pasundan dulu, yang walaupun hidup sederhana, sudah menyadari sanitasi lingkungan dengan baik.
Sebenarnya ada SD yang lebih dekat dari rumah, yaitu SD Asmi di Jl. Asmi. Tetapi orang tua memasukkan saya (dan kemudian adik saya) ke SD Moch Toha karena kualitas pendidikannya katanya lebih baik. Bagi si Budi kecil waktu itu, sekolah di mana saja rasanya tidak masalah. Tetapi ketika semakin besar dan mulai menyadari keterkenalan SD Moch Toha di wilayah selatan Bandung, terselip rasa bangga juga bisa bersekolah di SD itu.
Berangkat ke sekolah tentu saja jalan kaki. Sering tidak mandi dulu, cukup cuci muka. Bandung saat itu masih terasa sangat dingin. Bahkan kabut pegunungan dari utara kadang-kadang masih menyelinap jauh ke selatan. Kadang-kadang seiring dengan langkah-langkah kaki kecil saya, kabut masih menyelimuti pagi. Perjalanan berangkat sekolah pun kadang-kadang harus memakai jaket. Rutenya menelusuri gang pintas yang kemudian tembus ke Jl. Asmi di samping lapangan Gereja Santo Paulus. Dari sana tinggal menyusuri Jl. Asmi dan tembus ke Jl. Moch Toha tepat di depan pasar. Berbelok ke kiri, dan tinggal beberapa puluh langkah lagi, sampailah di gerbang SD.
Di Jl. Moch Toha inilah yang saat itu tidak selebar sekarang, masih rapat dinaungi jajaran pohon tanjung. Ketika musim berbunga dan bunga-bunga tanjung berjatuhan ke atas jalan, menutupi jalan dengan warna keputih-putihan, harumnya sungguh semerbak. Hingga sekarang saat berada di bawah pohon tanjung dan bunga putih kekuning-kuningannya jatuh dan menyebarkan harum, ingatan saya langsung tertuju ke masa-masa berangkat sekolah itu.
Selain harumnya bunga tanjung, bagi saya kenangan akan Jl. Moch Toha justru didapat dari tukang beca yang kencing di selokan jalan. Rasa ingin tahu apa yang sedang dilakukan si tukang beca dengan berjongkok di pinggir selokan, akhirnya sempat ditiru juga. Tetapi lama-lama mengerti juga, bagi anak lelaki, kencing yang paling enak ya sambil berdiri.

Pindah Rumah
             Ketika sedang di kelas III, kehidupan harus berubah. Lahan tempat rumah orangtua ternyata bukan tanah sendiri, tetapi milik seseorang yang bernama Haji Omo. Si pemilik lahan bermaksud mengambil haknya kembali. Saya masih ingat bagaimana bapak saya dan beberapa tetangga sibuk mengurus masalah ini. Bahkan rasanya sempat masuk ke pengadilan segala. Tetapi karena memang bukti kepemilikan tanah lebih kuat dipunyai Haji Omo itu, akhirnya seluruh penghuni yang kira-kira terdiri dari puluhan kepala keluarga yang sudah mendiami tempat itu selama berpuluh-puluh tahun harus rela tergusur. Jika tidak salah, kasus penggusuran ini yang kemudian juga mengubah nama Jl. Abdul Muis (blok yang digusur berada pada pojok Jl. Pasundan – Jl. Abdul Muis), kembali ke namanya dulu, Jl. Pungkur.
            Sebagai seorang anak SD kelas III yang masih lugu, ya sedikit lucu dan guoblok, kehilangan rumah sebenarnya tidak begitu terasa. Hal yang terasa adalah kehilangan teman-teman bermain sepulang sekolah yang biasanya dipusatkan di lapangan yang dulu rasanya sangat lega, Buruan Dadang, yang berarti Halaman Dadang.  Entah siapa yang pertama memberi lapangan kecil ini sebagai Buruan Dadang. Mungkin mengacu pada satu rumah milik Dadang dengan halamannya itu.
            Maka, selamat tinggal kenangan penelusuran gang ke sekolah. Juga tidak akan ada lagi perburuan layangan putus (saya lebih asyik memburu layangan putus daripada memainkannya, rasanya ada rasa asyik berebutan dengan anak-anak lain), atau main gatriks (bisa sampai ke Alun-alun), sondah, loncat tali, dan slepdur (sebenarnya untuk anak perempuan, tapi ikut main juga), atau berburu selebaran iklan bioskop yang ditabur dari bemo yang berjalan, main petak-umpet di klinik Bidan Mimi, juga melempar mangga muda punya tetangga, dan lain-lain kenangan masa kecil...
            Ketergusuran rumah dari Jl. Pasundan mendapatkan pengganti rumah dinas PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) tempat ayah saya bekerja sebagai pegawai menengahan di Balai Besar Kereta Api beralamat Jl. Gereja (dulu), sekarang Jl. Perintis Kemerdekaan, dekat via-duct. Pindah dari rumah gubuk ke rumah gedong di Jl. Rajawali adalah kegembiraan tersendiri. Saat itu, rasanya sudah berubah jadi orang kaya. Tapi orang tua memutuskan tidak memindahkan sekolah dan meneruskan sekolah tetap di SD Moch Toha. Jaraknya ke sekolah dari rumah sekarang mencapai hampir delapan kilometer. Dimulailah petualangan si Budi kecil pergi dan pulang sekolah.
            Pergi ke sekolah dari rumah baru, tidak begitu ingat. Pastinya pertama-tama ibu saya yang mengantar. Tetapi justru perjalanan pulang ke rumah masih terrekam dengan baik di memori. Karena hidup keluarga pas-pasan, dengan lima adik yang masih kecil-kecil, pulang sekolah harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer itu. Perjalanan pulang inilah yang merrekam bagaimana kehidupan jalanan Bandung tahun 1971 – 1974.
            Rute pulang yang saya lalui, sambil membimbing adik saya yang dua tahun lebih muda, adalah ke arah terminal Kebon Kalapa, kemudian menyusuri Jl. Pasirkoja ke arah Jl. Astanaanyar. Nikreuh (berjalan kaki cukup jauh) ke utara sepanjang Jl. Astanaanyar, bisa belok menyusuri Jl. Cibadak, atau diteruskan hingga perempatan Jl. Gardujati – Jend. Sudirman, dan kemudian nikreuh menyusuri Jl. Jend. Sudirman ke arah barat, melalui Kelenteng Andir, Pasar Andir, Jamika, pertigaan Jl. Suryani, Gedung Perdatam (jadi PPTM, sekarang Puslitbang TekMira), lalu berbelok ke Jl. Garuda (pernah disebut Jl. Laksamana Muda Nurtanio; lalu sekarang kembali menjadi Jl. Garuda), hingga sampailah di rumah. Perjalanan jauh itu rasanya asyik saja, tidak terkesan ada rasa capek.
            Inilah rekaman beberapa peristiwa berkesan. Keinginan seorang anak kecil untuk dapat membeli koleksi stiker bendera negara-negara dunia tidak dapat dipenuhi orang tua. Ketika itu, barang itu tergolong mahal. Saya tidak habis akal. Dalam perjalanan pulang sekolah, selalu mampir ke satu etalase toko yang memajang kumpulan bendera negara dunia itu. Dengan kertas dan pensil saya menyalin satu-per-satu bendera-bendera itu. Di depan etalase itu saya cukup membuat kotak (kecuali bendera Nepal yang bentuknya aneh) dan mensketsa pola bendera, dan kemudian memberi keterangan warnanya. Di rumah, baru digambar ulang, dan diwarnai dengan pensil warna sesuai catatan warna di oret-oretan. Rupanya kebiasaan ini berguna juga ketika sekarang menjadi seorang geolog. Mengamati singkapan batuan, atau sayatan batuan di bawah mikroskop, atau bentang alam yang luas, mendeskripsinya dan membuat sketsanya, seolah-olah sebuah default masa kecil ketika menyalin bendera-bendera itu.
            Di Jl. Cibadak sempat tertarik pula pada judi bola. Si bandar memainkan bola kecil yang dipindah-pindahkan dengan tutupan kerucut dengan tangannya, dan si penjudi memasang taruhan bola ada di kerucut mana. Bersama-sama dengan orang lainnya yang rasa-rasanya para tukang beca atau pedagang asongan, saya si anak SD tertarik mencoba karena kelihatannya gampang. Benar saja, pilihan saya selalu benar. Taruhan awal Rp. 1,- (satu rupiah!) bisa berhasil membawa Rp. 10,-. Lama-lama ketika menyadari si bandar berwajah tidak senang, judi itu tidak pernah dicoba lagi.
            Di Jl. Astanaanyar, dekat Jl.Pagarsih, dulu ada gedung bioskop bernama Siliwangi. Saya selalu mengagumi para pelukis poster-poster bioskop yang besar-besar itu. Poster-poster film koboi adalah yang paling saya suka. Di satu pojokan dekat bioskop itu terdapat penjual koran dan majalah. Di sanalah saya selalu melihat-lihat majalah, kadang-kadang cukup dengan melihat-lihat sampulnya saja yang berwarna-warni. Di toko kecil inilah, saat pulang sekolah saya sudah tahu bagaimana sampul Majalah Bobo terbitan minggu itu, apakah Bobo si kelinci yang riang gembira itu sedang berkostum bajak laut, indian, tentara, polisi, pemadam kebakaran, atau lainnya. Jadi saat hari Rabu ketika majalah itu terbit dan dibawa pulang ayah dari kantor sekitar jam 14.30 saya sudah lebih dulu menikmati gambar sampulnya di perjalanan pulang sekolah.
            Perjalanan jalan kaki pulang sekolah akhirnya digantikan dengan naik oplet. Itupun setelah orangtua mulai memberi uang ongkos naik oplet. Oplet adalah mobil kuno yang spakbornya bulat menonjol. Mereknya ya Opel. Tetapi rasanya beberapa mobil bermerk Fiat atau mungkin Chevrolet. Lama-lama oplet digantikan oleh bus-bus mini dari Jepang yang dikenal sekarang sebagai “angkot.” Nah, karena dulu angkot-angkot ini umumnya menggunakan mobil merk Honda, masyarakat Bandung mengenalnya sebagai “honda,” sekalipun kemudian datang merk-merk lain seperti Suzuki.
Ongkosnya dari terminal Kebon Kalapa ke Jl. Garuda awalnya hanya Rp. 5,-. Tapi hingga kelas VI terasa ongkos itu beranjak naik hingga Rp. 15,- atau lebih. Bahkan pernah seorang kenek marah dan melemparkan uang Rp. 10,- yang saya berikan dengan terburu-buru karena saya langsung ngacir. Harga-harga mulai beranjak naik. Orangtua akhirnya menaikkan bekal jajan dan ongkos naik honda. Tetapi saya dan adik saya sudah menandai mana angkot dengan supir dan kenek yang baik, mana yang tidak. Tentu “honda galak” – begitu saya dan adik saya menjulukinya – tidak pernah jadi pilihan.
Petualangan sepulang sekolah sepanjang 8 km mulai digantikan duduk di atas “honda.” Supaya hemat, saya dan adik saya berpangkuan supaya dihitung satu. Lalu lintas saat itu boleh dikatakan masih lengang. Di jalanan yang berseliweran hanyalah beberapa mobil, beberapa bus antar kota, dan lebih banyak sepeda onthel, dan delman, selain mulai maraknya angkutan kota yang disebut “honda” itu. Kadang-kadang ada juga pedati kuda pengangkut barang (umumnya bambu) yang dikenal sebagai “Impala Udin.” Sebuah pelesetan nama merk mobil sedan Chevrolet mewah “Impala.” Di Bandung tahun 1970-an pernah terjadi kerusuhan berbau SARA ketika semua toko dan rumah milik keturunan Cina dihancurkan perusuh. Gara-garanya seorang pengemudi sedan mewah yang warga keturunan menghajar sais “Impala Udin” yang menggores mobil mewahnya.
Begitulah sekelumit petualangan sepulang sekolah masa SD yang menjadi memoar juga terhadap Kota Bandung sekitar pertengahan 1970-an. ***

1 komentar: